(JL. MATRAMAN DALAM 3 NO. 7, PEGANGSAAN, MENTENG, JAKARTA PUSAT) E-MAIL: mr.saputro83@gmail.com HP. 081283279783

HUKUM PIDANA EKONOMI


“HUKUM PIDANA EKONOMI”

BAB I
PENDAHULUAN

          Pada era globalisasi, ini batas wilayah terasa semakin sempit. Peristiwa yang terjadi di negara lain seperti itu juga dapat diketahui di seluruh dunia, ini antara lain karena kemajuan teknologi telekomunikasi.
          Karena batas wilayah terasa semakin sempit dan juga karena adanya era perdagangan bebas maka setiap pelaku bisnis dapat mengadakan transaksi bisnis ke negara-negara lainnya.
          Berkaitan dengan hubungan antar negara begitu juga bagi pelaku bisnis maka tidak dapat dihindari suasana saling pengaruh-mempengaruhi dan timbulnya perlunya pembaharuan peraturan perundang-undangan yang telah usang pun menjadi penting pula.
          Dahulu subjek hukum pidana adalah orang, hal ini dapat dilihat dalam rumusan ”dimulai dengan barang siapa”, adanya jenis pidana mati juga adanya jenis pidana kurungan. Namun sekarang karena perkembangan perekonomian dan kebutuhan bisnis maka dalam subjek hukum pun terjadi perkembangan khususnya subjek hukum pidana.
          Makalah ini membahas mengenai perkembangan subjek hukum pidana khususnya korporasi yang menjadi subjek hukum pidana, juga akan dibahas mengenai korporasi dan pemidanaan, disamping itu dibahas mengenai korporasi dan pembaharuan perundang-undangan yang terakhir, akhirnya akan dibahas mengenai penegakan hukum pidana dalam korporasi.
BAB II
PERKEMBANGAN SUBJEK HUKUM PIDANA

A.      Arti Korporasi
          Mengenai korporasi di kalangan para sarjana berkembang 2 pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah suatu kumpulan dagang yang sudah berbadan hukum. Jadi dibatasi bahwa korporasi yang dapat diperganggungjawab-kan secara pidana adalah korporasi yang sudah berbadan hukum. Alasannya adalah bahwa dengan sudah berbadan hukum, telah jelas susunan pengurus serta sejauh mana hak kewajiban dalam korporasi tersebut.
          Pendapat lain adalah yang bersifat luas, di mana dikatakan bahwa korporasi tidak perlu harus berbadan hukum. Setiap kumpulan manusia, baik dalam hubungan suatu usaha dagang ataupun usaha lainnya dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.[1]
         
B.      Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana
          Berdasarkan hukum yang berlaku sekarang yang dianggap subjek dalam hukum pidana adalah manusia karena hanya manusia yang dapat dipersalahkan dalam suatu tindak pidana. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan suatu perkumpulan menjadi subjek tindak pidana tetapi dalam hal ini tetap saja para pengurusnya atau para pemimpin perkumpulan itu yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Sedangkan badan hukumnya atau perkumpulannya tidak dikenakan pidana, berbeda dengan negara seperti Belanda, Amerika Serikat, Malaysia dan Singapura perkumpulan atau korporasinya pun dapat dipertanggungjawabkan secara pidana karena menurut perundang-undangan mereka korporasi menjadi subjek hukum pidana.
          Sesungguhnya mengenai korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana telah diperkenalkan oleh Undang Undang No. 7/DRT/ 1955 tentang Hukum Pidana Ekonomi, kalaupun belum ada putusan pengadilan mengenai pidana tentang korporasi sebagai badan hukum. Dalam perkembangannya di Indonesia korporasi-korporasi sebagai subjek hukum pun dapat dilihat dalam Undang Undang Pengolahan Lingkungan Hidup. Kebutuhan akan pentingnya korporasi menjadi subjek hukum pidana kiran terasa akibat dari pergaulan internasional khususnya dalam bisnis dimana negara-negara lain pun telah memasukkan korporasi secara tegas sejak lama misalnya di Inggris sejak tahun 1872.

C.      Kejahatan Korporasi
          Konsekuensi korporasi menjadi subjek hukum adalah bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana,  oleh karenanya tentu korporasi dapat melakukan kejahatan yang bisa dikenai perumusan pasal.
          Kejahatan korporasi selalu berkaitan dengan usaha perdagangan, misalnya penyuapan, manipulasi pajak, persaingan tidak sehat, informasi menyesatkan, penentuan harga, produk yang salah, polusi lingkungan dan lain-lain.
          Oleh karena korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana maka penentuan pidananya dapat berupa pidana denda, suatu tindakan memulihkan keadaan seperti sebelum adanya kerusakan oleh suatu usaha, penutupan perusahaan dan ganti kerugian. Mengenai ganti kerugian ini adalah ganti kerugian yang berbeda dengan ganti kerugian hukum perdata tetapi merupakan ganti kerugian sebagai salah satu bentuk pidana.
          Penjatuhan ganti kerugian pada korporasi dapat berupa ganti kerugian kepada korban dan juga dapat merupakan ganti kerusakan yang telah ditimbulkan.

BAB III
HAL-HAL YANG RELEVAN DENGAN KORPORASI

A.      Korporasi dan Pemidanaan
                   Dalam sejarah pemidanaan diawali dengan konsep pembalasan namun kemudian berkembang menjadi konsep perbaikan. Hal ini bisa terlihat dari perubahan konsep penjara menjadi konsep pemasyarakatan, artinya pelaku tindak pidana dididik dan dibina untuk dikembalikan kembali ke masyarakat sebagai orang yang baik.
                   Di dalam Pasal 50 Rancangan Kitab Undang-undnag Hukum Pidana tahun 2000 diutarakan pemidanaan adalah :
          1.       mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat,
          2.       memasyarakatkan narapidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna,
          c.       menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, dan
          d.      membebaskan rasa bersalah pada narapidana.
                   Selanjutnya diutarakan bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Dengan melihat tujuan pemidanaan yang tertera di atas dapat disimpulkan, bahwa tujuan yang pertama adalah mengandung suatu pandangan memberikan perlindungan kepada masyarakat dari kejahatan, yang kedua hakekat pemidanaan bermaksud untuk meresosialisasi narapidana dan mengintegrasikan yang bersangkutan ke dalam masyarakat sedangkan tujuan yang ketiga yang dihubungkan dengan reaksi adat adalah untuk memengembalikan keseimbangan di dalam masyarakat yang telah terganggu oleh suatu tindak pidana.
                   Tidak dapat dihindari suatu pandangan dikehendakinya pembalasan terhadap mereka yang telah melakukan tindak pidana oleh masyarakat atau korban. Sehingga dengan demikian dengan dipidananya seorang pelaku tindak pidana lebih merupakan suatu pembalasan. Dengan tujuan mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat yang telah terganggu dengan terjadinya tindak pidana adalah salah satu tujuan pemidanaan yang tidak boleh diabaikan. Karena apabila hal ini terabaikan maka masyarakat akan melakukan tindakan sendiri yang dianggapnya akan memberi keseimbangan dalam masyarakat tersebut.
                   Keempat pemidanaan sebagai membebaskan rasa bersalah pada narapidana lebih kepada tujuan spiritual. Perlu mendapatkan perhatian, meskipun pidana merupakan nestapa bagi penerimanya, akan tetapi pelaksanaan emidanaan tidak dimaksudkan untuk memberikan derita dan terlebih lagi tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabatnya sebagai manusia.[2]
Dibandingkan dengan KUHP yang berlaku sekarang, dalam Pasal 50 Rancangan KUHP tahun 2000, jenis pidana adalah sebagai berikut :
        Pidana Pokok :
          a.    Pidana Penjara;
          b.    Pidana Tutupan;
          c.    Pidana Pengawasan;
          d.    Pidana Denda;
          e.    Pidana Kerja Sosial.
Ternyata terdapat lebih banyak alternative yang dapat dijatuhkan oleh hakim dalam memilih jenis pidana bagi pelaku tindak pidana. Di samping itu terlihat bahaya ada kecenderungan untuk menghindari dimasukkannya narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan:
        Pidana mati merupakan pidana yang bersifat khusus
        Pidana Tambahan :
          a.    Pencabutan hak-hak tertentu;
          b.    Perampasan barang tertentu dan atau tagihan;
          c.    Pengumuman putusan hakim;
          d.    Pembayaran ganti kerugian;
          e.    Pemenuhan kewajiban ada.

          Terlihat di sini bahwa ganti kerugian sudah dimasukkan salah satu sanksi dalam hukum pidana. Selama ini ganti kerugian merupakan aspek dalam hukum perdata. Dengan demikian ganti kerugian dapat dijatuhkan oleh hakim dalam peradilan pidana.
          Jika diteliti konsep pemidanaan dalam tindak pidana perekonomian yang tepat adalah menyelesiakan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Dari segi kesinambungan berusaha maka pemenjaraan pelaku tindak pidana (misalnya direktur) adalah tidak efektif jika berakibat berhentinya/ terhambatnya kegiatan berbisnis.
          Akan lebih efektif bila jenis pidananya adalah ganti kerugian, denda ataupun pemenuhan kewajiban yang ada seperti yang tercantum dalam Rancangan KUHP baru tahun 2000.
          Dengan adanya pembayaran ganti kerugian atau denda atau pemenuhan kewajiban maka kesinambungan perusahaan berjalan lancar, sehingga tidak akan menghambat roda perekonomian. Hal ini sejalan dengan kecenderungan yang ada dalam kalangan pelaku bisnis bahwa misalnya dalam perkara perdata, mereka cenderung menyelesaikan perkaranya melalui Arbitrase karena biaya murah dan waktunya pun singkat serta kelangsungan berusaha terjamin. Kecenderungan yang ada ini adalah sejalan dengan dilansirnya jenis pemidanaan berupa denda, pembayaran ganti kerugian dan pemenuhan kewajiban yang ada dalam Rancangan KUHP 2000. Memang demikianlah bahwa di dalam perkembangan sistim perekonomian dunia maka yang penting adalah efesiensi. Efesiensi ini diperlakukan dalam perkara perdata atau perkara pidana demi terjaminnya kelangsungan berusaha. Dengan model jenis pidana yang baru khususnya yang berkaitan dengan tinak pidana perekonomian sudah sesuai dengan yang terjadi di negara-negara lain.

B.      Korporasi dan Pembaharuan Undang Undang Terkait
Dengan ditetapkannya korporasi sebagai subjek hukum pidana maka harus diikuti dengan pembaharuan Undang-undang terkait misalnya jenis pidana. Juga diperlukan Undang-Undang Korporasi atau pembaharuan Undang-Undang Perseroan.
Pembaharuan Undang-undang ini untuk mengakomodasi hal-hal yang sering terjadi dan aktual dalam lalu lintas dunia bisnis. Hal-hal yang aktual ini selayaknya diberi pengaturan supaya ada kepastian jika terjadi sengketa.

C.      Penegakan Pidana Korporasi
          Perkembangan sistim perekonomian dunia dan kecenderungan para pelaku bisnis dalam berhubungan mengedepankan efesiensi, oleh karenanya jika terjadi sengketa antar mereka selalu diinginkan penyelesaian sengketa yang cepat, biaya ringan untuk menjamin kelangsungan perusahaan.
          Penegakan pidana korporasi berada di areal lingkup perekonomian oleh karenanya diperlukan kemampua khusus para penegak hukum yang bekerja di bidangnya. Penyidik khusus atau Jaksa diharapkan dapat berlaku adil dalam hal penegakan hukum khususnya menyangkut perkara yang berkaitan dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Penegakan hukum yang adil demi kepastian hukum merupakan tuntutan untuk timbulnya kepercayaan pada hukum di Indonesia.
BAB IV
PENUTUP

          KESIMPULAN
1.       Bahwa korporasi telah menjadi subjek hukum pidana, hal ini bisa dilihat dalam berbagai peraturan perundang-undangan misalnya Undang-Undang No.7/DRT/1955 dan Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2.       Bahwa pemidanaan dalam korporasi telah ada inovasi baru tentang jenis pemidanaan yaitu ganti kerugian pidana disamping denda bahkan dalam Rancangan KUHP 2000 ada Pidana Tambahan Pemenuhan Kewajiban yang ada.
3.       Bahwa dengan ditetapkan korporasi sebagai subjek hukum pidana harus diikuti dengan pembaharuan Undang-undang terkait misalnya Undang-Undang Korporasi atau Undang-Undang Perseroan.
4.       Bahwa penegakan hukum pidana dalam korporasi mengedepankan efesiensi demi keadilan, walaupun tidak menutup kemungkinan memenjarakan pelaku kalau memang perlu.

          SARAN
                   Selayaknya para hakim melihat pilosofi para pelaku bisnis yaitu efesiensi dan kesinambungan perusahaan, oleh karenanya dalam penjatuhan pidana di bidang perekonomian kalau dianggap tidak perlu sebaiknya tidak memenjarakan pelaku tetapi cukup dengan denda, pembayaran ganti kerugian atau pemenuhan kewajiban. Dengan tidak memenjarakan pelaku berarti kesinambungan perusahaan terjamin dan perekonomian lancar.


[1] Prof. Dr. H. Loebby Loqman, SH., MH, Kapita Selekta Tindak Pidana Di Bidang Perekonomian, Datacom, Jakarta. 2002 hal. 32
[2] Prof. Dr. H. Loebby Loqman, SH., MH, Pidana Dan Pemidanaan, Datacom, Jakarta. 2002 hal. 36